Selasa, 12 November 2013

Lunturnya Rasa Nasionalisme di Kalangan Remaja

Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah Negara dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia. Bangsa Indonesia memiliki beraneka ragam perbedaan suku bangsa, agama, adat istiadat dan bahasa antar tiap daerah. Perbedaan tersebut bukan sebagai pemisah, melainkan harus dipandang sebagai kekayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Keanekaragaman yang ada tertampung dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
   Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan Negara kebangsaan yang bertekad membangun masa depan bersama untuk mewujudkan cita-cita menuju masyarakat yang demokratis, adil, dan makmur.
      Hasil perjuangan bangsa kita di masa revolusi adalah tercapainya kemerdekaan, yang berarti tercapainya cit-cita bangsa kita untuk memiliki kedaulatan. Proklamasi 17 Agustus 1945 telah melahirkan Negara yang merdeka, dan telah melepaskan bangsa kita dari belenggu penjajahan. Kemerdekaan itu tercapai berkat perjuangan pahlawan-pahlawan yang mempunyai rasa nasionalisme yang tinggi. Sedangkan hari Sumpah Pemuda yang diperingati setiap tanggal 28 Oktober merupakan salah satu wujud nasionalisme dari kalangan pemuda. Yang mempunyai arti tekad persatuan dan kesatuan yang dipelopori oleh para pemuda sebelum kita merdeka. Sumpah Pemuda memberikan ruang bagi pemuda untuk mengikrarkan kesamaan tanah air, bangsa, dan bahasa. Hal ini mengingatkan jati diri pemuda sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang harus senantiasa menjaga dan mempertahankan ibu pertiwi dari segala macam tantangan, ancaman, maupun krisis.
      Bagi para pemuda, nasionalisme hanyalah usaha membela bangsa guna mengusir penjajah. Seolah-olah bagi pemuda masa kini nasionalisme bukan sesuatu yang penting lagi, mereka beranggapan bahwa mereka perlu memiliki rasa nasionalisme hanya disaat merekan hormat pada Bendera Merah Putih disaat upacara bendera hari senin di sekolahnya. Semangat untuk berkorban, berbakti, dan berjuang demi bangsa dan Negara cenderung hilang apalagi di era modern ini, perjuangan akan lebih berat. Sebab musuh tidak sekedar berasal dari luar, bahkan sosok pada diri kita sendiri. Musuh tersebut bisa berbentuk kebodohan, kemiskinan, kemalasan, dan ketidakrelaan untuk berkorban terhadap bangsanya sendiri.
      Hal ini terlihat jelas bahwa memang nasionalisme golongan muda sekarang sedang diuji. Budaya barat dengan mudahnya masuk dan mempengaruhi kepribadian bangsa. Apabila hal ini tidak segera ditangani dengan serius maka kita tidak tahu bagaimana nasib bangsa Indonesia beberapa tahun mendatang ketika pemerintahan mulai dipegang oleh para pemuda yang memiliki gaya hidup yang tidak sesuai dengan bangsa yang ia pimpin.
      Yang terjadi saat ini, nasionalisme masyarakat Indonesia mulai terkikis akibat pengaruh globalisasi yang semakin deras. Pengaruh tersebut sudah dirasa dalam berbagai aspek kehidupan ekonomi, pendidikan, sosial, dan budaya. Utamanya globalisasi sangat mengancam kaum muda karena kondisi psikis kaum muda terbilang masih labil sehingga mudah terpengaruh dari luar. Mereka kurang sadar akan ancaman tersebut dan kurang menganggap penting nasionalisme. 
      Banyak para pemuda Indonesia yang merasa pemerintahan Indonesia sering menggunakan kekuasaannya hanya untuk kepentingannya sendiri, bukan untuk mensejahterakan rakyatnya. Banyak pemuda yang merasa kecewa akan hal itu dan akhirnya merasa antipati terhadap keadaan bangsanya. Mereka cenderung berfikir meskipun ia telah berupaya dan melakukan banyak hal mengenai kelangsungan pemerintahan Indonesia, namun kadang aspirasinya kurang ditanggapi pemerintah. Dan kebijakan yang tersusun hanya berdasarkan dari hasil pemikiran pemerintah saja.
      Banyak kita saksikan tawuran pelajar, pertikaian antar warga, premanisme, ormas agama yang brutal, saling serang antar sesama, para pelajar yang hoby nongkromg, dugem, mabuk di jalanan, dan parahnya tidak lagi menghormati orang tua. Sungguh pemandangan yang ironis. Menjelang hari peringatan Sumpah Pemuda yang seharusnya diperingati secara hikmat oleh kalangan pemuda justru diisi dengan hal-hal yang tidak layak dan patut dilakukan. Entah apa yang ada dibenak mereka, sehingga mereka melakukan perbuatan yang tidak layak tersebut. Mereka yang seharusnya mempererat tali persatuan dan kesatuan, tapi mereka justru melakukan hal yang sebaliknya. Aksi kekerasan dan tawuran yang dipertotonkan oleh kalangan anak muda (mahasiswa dan pelajar), menjadi bukti bahwa diantara sesama anak bangsa tidak lagi memiliki jiwa persatuan.
      Nasionalisme akan tumbuh jika ditopang oleh harapan, tujuan, dan keyakinan serta cita-cita hidup yang diperjuangkan bersama. Semua merasa sepakat untuk menjadikan "Tiga poin" yang diproklamasikan pada tanggal 28 Oktober 1928, yakni "satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa" , sebagai perekat dan pemersatu perjuangannya. Identitas tidak lagi tampak dan dijadikan pedoman penghayatan persatuan, namun semua identitas masing-masing dijadikan satu identitas bersama untuk sekelompok manusia.
      Tawuran dan kekerasan janganlah dijadikan sebagai budaya, karena bangsa Indonesia tidak pernah mengenal budaya seperti itu. Bangsa Indonesia hanya mengenal budaya gotong-royong, kebersamaan, dan menghormati sesama. Kita berharap ikrar para pemuda Indonesia dahulu tidak terbuang sia-sia. Ini semua dapat dijadikan pegangan untuk mengantisipasi lunturnya nilai-nilai persatuan dan kesatuan antar sesam anak bangsa serta betapa pentingnya membangun rasa nasionalisme di jiwa para pemuda Indonesia sekarang ini.

Senin, 11 November 2013

Pendidikan Karakter untuk Membangun Keberadaban Bangsa


Dari mana asalmu tidak penting, ukuran tubuhmu juga tidak penting, ukuran otakmu cukup penting, ukuran hatimu itulah yang sangat penting karena otak (pikiran) dan kalbu hati yang paling kuat menggerak seseorang itu bertutur kata dan bertindak, dan renungkan dalam hati apakah telah memadai wahana pembelajaran memberikan peluang bagi peserta didik untuk multi kecerdasan yang mampu mengembangkan sikap kejujuran, integritas, komitmen, kedisipilinan, visioner, dan kemandirian.
Sejarah memberikan pelajaran yang amat berharga, betapa perbedaan, pertentangan, dan pertukaran pikiran itulah sesungguhnya yang mengantarkan kita ke gerbang kemerdekaan. Melalui perdebatan tersebut kita banyak belajar, bagaimana toleransi dan keterbukaan para Pendiri Republik ini dalam menerima pendapat, dan berbagai kritik saat itu. Melalui pertukaran pikiran itu kita juga bisa mencermati, betapa kuat keinginan para Pemimpin Bangsa itu untuk bersatu di dalam satu identitas kebangsaan, sehingga perbedaan-perbedaan tidak menjadi persoalan bagi mereka.
Karena itu pendidikan karakter harus digali dari landasan idiil Pancasila, dan landasan konstitusional UUD 1945. Sejarah Indonesia memperlihatkan bahwa pada tahun 1928, ikrar "Sumpah Pemuda" menegaskan tekat untuk membangun nasional Indonesia. Mereka bersumpah untuk berbangsa, bertanah air, dan berbahasa satu yaitu Indonesia. Ketika merdeka dipilihnya bentuk negara kesatuan. Kedua peristiwa sejarah ini menunjukan suatu kebutuhan yang secara sosio-politis merefleksi keberadaan watak pluralisme tersebut. Kenyataan sejarah dan sosial budaya tersebut lebih diperkuat lagi melalui arti simbol "Bhineka Tunggal Ika" pada lambang Negara Indonesia.
Dari mana memulai dibelajarkannya nilai-nilai karakter bangsa, dari pendidikan informal, dan secara pararel berlanjut pada pendidikan formal dan nonformal. Tantangan saat ini dan ke depan bagaimana kita mampu menempatkan pendidikan karakter sebagai sesuatu kekuatan bangsa. Oleh karena itu, kebijakan dan implementasi pendidikan yang berbasis karakter menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka membangun bangsa ini. Hal ini tentunya juga menuntut adanya dukungan yang kondusif dari pranata politik, sosial, dan budaya bangsa.
Pendidikan Karakter Untuk Membangun Keberadaban Bangsa , adalah kearifan dari keaneragaman nilai dan budaya kehidupan bermasyarakat. Kearifan itu segera muncul, jika seseorang membuka diri untuk menjalani kehidupan bersama dengan melihat realitas plural yang terjadi. Oleh karena itu, pendidikan harus diletakkan pada posisi yang tepat, apalagi ketika menghadapi konflik yang berbasis pada ras, suku dan keagamaan. pendidikan karakter bukanlah sekedar wacana tetapi realitas implementasinya, bukan hanya sekedar kata-kata tetapi tindakan dan bukan simbol atau slogan, tetapi keberpihak yang cerdas untuk membangun keberadaban bangsa Indonesia. Pesan akhir tulisan ini, berikan layanan yang terbaik kepada Pendidik dan Tenaga Kependidikan sehingga terwujud masyarakat yang beradab yang mengimplementasikan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Pembiasaan berperilaku santun dan damai adalah refreksi dari tekat kita sekali merdeka, tetap merdeka.